Hatarakute mo giri-giri na seikatsu. Imi ga arimasuka? Bekerja pun masih hidup pas-pasan, susah. Apakah ada artinya kalau
hidup demikian? Begitulah pemikiran yang banyak muncul di Jepang saat
ini. Membuat mereka tambah stress dan akhirnya bunuh diri. Lebih baik
tidak bekerja saja apabila bekerja saja masih susah. Kalau tidak
bekerja, hidup masih bisa enak, tidur-tiduran, bebas, tak buang uang,
tak capek.
Tingkat
bunuh diri di Jepang tertinggi di dunia. Sedikitnya 76 orang bunuh diri
per hari di Jepang tahun 2012, sesuai data kepolisian Jepang. Bayi pun
juga sudah sangat jarang saat ini. Tak heran Jepang sudah berbentuk
pyramid terbalik, dalam arti, jauh lebih banyak orangtua (lansia)
ketimbang generasi mudanya. Mengapa? Karena bayi atau anak dianggap
beban hidup di Jepang. Bukan seperti di Indonesia dianggap sebagai
karunia dari Tuhan.
Bunuh diri di Jepang 25 persen karena rasa tanggungjawab di bidang keuangan, misalnya terbelit hutang besar. Empat direksi sebuah perusahaan bunuh diri di Tokyo karena perusahaannya terbelit hutang besar. Dengan bunuh diri mendapatkan asuransi, untuk membayar hutang perusahaan dan sisanya untuk keluarga mereka. Hutang dibayar dengan nyawa.
Kini setiap hari semakin banyak kasus kejahatan, pembunuhan, perkelahian kepada kekerasan dan bunuh diri. Bahkan seminggu sekali muncul kasus bunuh diri pelajar sekolah dengan gas beracun. Anak usia 14 tahun mengakhiri hidupnya dengan membuat gas beracun sendiri. Mengapa bisa mudah membuat dan melakukan demikian?
Saat ini unsur yang sangat berbahaya di Jepang adalah KGI, bukan KGB, dinas rahasia Uni Soviet (Rusia) di waktu lalu. KGI adalah Keitai (telepon genggam atau HP), Game, dan Internet. Dengan KGI di tangan seseorang, koneksi dunia dapat dilakukan dengan mudah berkat internet. Ponsel sudah lengket dalam diri manusia, game tak akan habis terus saja dimainkan sehingga lupa tugas kehidupan sehari-hari dan internet mengaitkan segala macam informasi dari yang terbaik sampai dengan terburuk. Kebanyakan yang terburuk paling populer dilihat, misalnya p*rnografi.
Berkat informasi sangat mudah didapat saat ini, anak kecil mulai sekolah dasar sampai dengan orang dewasa mudah mencari segala macam info tersebut. Bagaimana meracik gas beracun dengan mudah diperoleh di website Jepang, tentu dalam bahasa Jepang. Televisi yang menyiarkan bunuh diri memakai gas beracun sebagai booster, meningkatkan keinginan manusia yang stress untuk bunuh diri menggunakan cara yang sama karena dianggap lebih mudah dan enak dalam menghilangkan nyawanya sendiri, tidak menderita.
Itulah yang dilakukan anak muda yang bunuh diri saat ini. Tren bunuh diri pakai gas beracun. Akibatnya, sekeliling rumah, orang tak dikenal, jadi ikut korban. Ada yang koma, tak sadarkan diri dalam waktu lama, ada yang pingsan keracunan, dan sebagainya, terkena dampak gas beracun dari rumah atau kamar tetangga. Orang Jepang bilang, Meiwaku desu. Berarti, sangat menyusahkan orang lain.
Melihat kecenderungan bunuh diri yang masih tinggi di Jepang saat ini, bagi kalangan lain mungkin jadi kesempatan bisnis yang luar biasa bagus, terutama bidang jasa.
Menyediakan jasa pengiriman jenazah, menyediakan jasa pengurusan pemakaman, menyediakan jasa upacara kematian, menyediakan jasa pembuatan peti mati atau membuat pot abu jenazah, dan sebagainya. Di sinilah juga terkadang Yakuza terlibat karena bisnis kematian adalah bisnis menguntungkan di Jepang.
Aneh memang semua orang berusaha, berbisnis untuk hal positif guna meningkatkan kehidupan sehari-hari, tapi bisnis yang satu ini malah untuk hal yang dirundung malang alias kematian. Kenyataan yang ada tidak murah mengurus kematian di Jepang. Mulai dari pengurusan di rumah sakit, pembakaran, sampai pemakaman di kuburan atau disimpan di kuil.
Terutama tempat pemakaman dengan harga sewa beragam tergantung lokasi, luas dan bentuk makam. Kalau dilihat dari angka, untuk sewa makam saja sebulan paling murah sekitar satu juta rupiah. Tentu yang lebih mahal ada banyak pula. Ditambah lagi batu nisan yang perlu dihias/diukir, rumput makam, dan sebagainya. Bunuh diri yang banyak sekali di Jepang tentu saja tidak membawa hal positif bagi banyak umat manusia terutama di Jepang. Tapi bagi kalangan bisnis pemakaman atau jasa kematian, memberikan keuntungan yang tidak sedikit menghadapi semakin banyak orang meninggal dunia.
Secara umum Jepang sedang sekarat saat ini dari segi kemanusiaan. Di waktu lalu seorang Shachou (president) perusahaan besar di Jepang, sahabat penulis, sedikit mengguman, “Mengapa orang Jepang kini semakin lemah ya?” Lemah bukan dari segi fisik, tetapi dari segi mental. Misalnya, jadi malas bekerja, motivasi bekerja semakin rendah, gampang bunuh diri dan sebagainya.
Ada yang mengatakan karena perlu pendidikan motivasi kehidupan yang lebih baik lagi, melihat kesegaran lain dari luar sehingga dapat membandingkan dirinya menjadi lebih baik lagi. Tapi ada pula yang menyebutkan karena lingkungan kehidupan yang membentuk demikian. Seperti diungkap di atas, buat apa bekerja? Dapat gaji saja masih hidup susah saat ini, pas-pasan, kan, lebih baik tak usah bekerja, tapi hidup bisa bebas, tak perlu susah-susah?
Mungkin jawaban kedua itulah yang sudah mulai meracuni masyarakat dan kehidupan di Jepang yang saat menikah menggunakan cara Kristen, ke gereja, dan meninggal dengan upacara Buddha serta Shinto. Lalu apa agama mereka?
Menarik sekali Jepang saat ini, di tengah kemajuan teknologi yang ada, juga ada sisi gelap dan pesimis yang mungkin mengagetkan bagi banyak orang luar. Semua itu berjalan seiring meskipun ada kecenderungan segi negatif semakin menguat. Kembali lagi kepada pimpinan negaranya, sejauhmana bisa memotivasi rakyatnya untuk hidup bersemangat kembali. Sementara popularitas Perdana Menterinya memang tinggi sekitar 70 persen, bisakah menjadikan negeri Sakura ini genki (sehat) kembali?
0 komentar:
Post a Comment