Jogja memang merupakan salah satu kota dengan akulturasi budaya yang apik, baik antara budaya modern maupun budaya tradisional yang dapat berjalan beriringan dengan harmonis, namun kesan nuansa Jawa memang paling kentara di kota ini. Tinggal di kota ini memang serasa tidak habisnya kita mendapatkan berbagai macam hiburan, baik itu hiburan yang berbayar hingga hiburan yang gratis. Salah satu event yang menarik perhatian saya adalah pagelaran wayang wong dengan judul "Suci Sang Pinudya" yang digelar di Ndalem Pujokusuman pada hari Jumat (8/6) kemarin.
Ndalem Pujokusuman ini merupakan salah satu sanggar tempat latihan kebudayaan-kebudayaan Jawa dengan gaya Yogyakarta. Hmm...jauh di luar dugaan saya ternyata antusias dan animo penonton yang ingin menyaksikan pagelaran kesenian daerah ini cukup banyak. Ya, kehebatan dari social media seperti twitter yang mempublikasikan informasi memang cukup efektif untuk memberikan informasi kepada khalayak masyarakat, ditambah lagi tontonan ini gratis.
Pagelaran wayang wong ini dibuka dengan penampilan penari-penari yang membawakan tari Jawa klasik "Srimpi Jemparing" yang konon sudah lama tidak dipentaskan. Tari ini diambil dari kisah Mahabarata dengan fragmen Dewi Srikandi yang hilang dan disayembarakan. Tarian ini dibawakan oleh empat orang penari dewasa dan empat orang penari dewasa. Gerakannya lemah gemulai namun terlihat tegas untuk beberapa adegan.
Adegan selanjutnya adalah pementasan tari topeng yang berjudul Tari Klana Topeng Prayungan yang dibawakan secara tunggal oleh penari laki-laki. Tari ini mengisahkan kisah cinta dari cerita Panji dengan latar Kerajaan Kediri. Sang penari membawakan tarian ini dengan atraktif dengan gerakan yang lincah dan gerak-gerik tubuh yang tegas.
Sebagai puncak acara dari pagelaran wayang wong ini diisi dengan fragmen cerita klasik antara Rama dan Sinta. Cerita yang disajikan memang tidak full story seperti pagelaran Sendratari Ramayana di teater terbuka Prambanan. Dalam pagelaran wayang wong ini hanya dikisahkan drama penculikan Sinta oleh Rahwana, kemudian drama penyelamatan Sinta oleh Rama yang dibantu oleh Hanoman, dan di akhir cerita dikisahkan mengenai pembuktian kesucian Sinta dengan cara membakar diri di bara api yang menganga, namun bara api tersebut sama sekali tidak melukai tubuh Sinta yang artinya bahwa Sinta masih dalam keadaan yang suci. Pada akhir cerita dikisahkan Rama dan Sinta akhirnya bersatu kembali dan menjadi sepasang suami istri.
Pegelaran wayang wong yang sangat luar biasa menurut saya. Para penari menyajikan gerakan tari dengan apik berpadu harmonis dengan seperangkat gamelan Jawa dan para sinden yang menembangkan tembang-tembang Jawa yang mengiringi jalannya cerita.
Sebagai generai muda memang kita selayaknya untuk terus melestarikan seni dan kebudayaan daerah yang kita miliki sebagai kekayaan khasanah kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah yang sarat akan makna, filosofi, dan nilai seni tinggi jangan sampai kita biarkan punah begitu saja. Menurut saya, masih banyak generasi muda yang mencintai kebudayaan daerah, terbukti dari para penari yang rata-rata masih berumur belia dan juga para penonton yang juga banyak berasal dari kalangan muda. Ya, semoga pementasan-pementasan kesenian daerah seperti ini dapat rutin digelar guna menggalakkan kembali kebudayaan-kebudayaan daerah yang kita miliki.
0 komentar:
Post a Comment