Bila masyarakat Jawa punya aksara Hanacaraka, ternyata Lampung juga
punya aksara khusus untuk bahasa mereka. Bahkan, dalam sejarah nenek
moyang orang Lampung termasuk yang memahami pentingnya aksara bagi
kehidupan bermasyarakat.
Nenek moyang orang Lampung merupakan salah satu dari sedikit suku yang sejak awal memiliki aksara sebagai simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya, seperti batu, kayu, kain untuk mengekspresikan unsur-unsur ke dalam suatu bahasa.
Nenek moyang orang Lampung merupakan salah satu dari sedikit suku yang sejak awal memiliki aksara sebagai simbol visual yang tertera pada kertas maupun media lainnya, seperti batu, kayu, kain untuk mengekspresikan unsur-unsur ke dalam suatu bahasa.
kebudayaanindonesia.net |
Menurut sejarahnya, aksara Lampung atau biasa disebut Had Lampung
berasal dari perkembangan aksara Devanagari yang lengkapnya dinamakan
Dewdatt Deva Nagari atau aksara Palawa dari India Selatan. Aksara ini
berbentuk suku kata seperti halnya aksara Jawa ca-ra-ka atau bahasa Arab
alif-ba-ta.
Had Lampung terdiri dari huruf induk yang berjumlah 20 huruf, yakni ka–ga–nga–pa–ba–ma–ta–da–na–ca–ja–nya–ya–a –la–ra–sa–wa–ha–gha. Serta atribut lain seperti anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah Kaganga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan.
Aksara Lampung diperkirakan masuk ke daerah Sumatera Selatan pada era Kerajaan Sriwijaya (700-1.000 Masehi). Aksara ini memiliki banyak persamaan dengan aksara-aksara di luar Lampung, tetapi bukan berarti yang satu meniru yang lain, melainkan aksara-aksara tersebut memang bersaudara, sama-sama diturunkan dari aksara India.
Karena ada pembeda bentuk dan digunakan oleh sebagian orang di daerah pedalaman Lampung, maka disebut aksara Lampung atau dalam bahasa daerah Lampung disebut kelabai surat Lampung, yang berarti ibu surat Lampung.
Had Lampung terdiri dari huruf induk yang berjumlah 20 huruf, yakni ka–ga–nga–pa–ba–ma–ta–da–na–ca–ja–nya–ya–a –la–ra–sa–wa–ha–gha. Serta atribut lain seperti anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambang, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah Kaganga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan.
Aksara Lampung diperkirakan masuk ke daerah Sumatera Selatan pada era Kerajaan Sriwijaya (700-1.000 Masehi). Aksara ini memiliki banyak persamaan dengan aksara-aksara di luar Lampung, tetapi bukan berarti yang satu meniru yang lain, melainkan aksara-aksara tersebut memang bersaudara, sama-sama diturunkan dari aksara India.
Karena ada pembeda bentuk dan digunakan oleh sebagian orang di daerah pedalaman Lampung, maka disebut aksara Lampung atau dalam bahasa daerah Lampung disebut kelabai surat Lampung, yang berarti ibu surat Lampung.
Islam masuk, Had menghilang
Aksara Lampung mulai jarang digunakan setelah Islam masuk. Menurut budayawan yang juga tokoh adat Lampung Zulkarnain Zubairi, sejak Islam masuk ke Lampung setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, aksara Lampung banyak digunakan untuk menuliskan mantra-mantra dan kelabai yang bertentangan dengan Islam yang tidak memercayai mantra-mantra.
Karena itu masyarakat diminta tidak lagi menggunakan aksara yang dinilai syirik itu, lalu berkembanglah peradaban baru dengan aksara Melayu atau Jawi.
“Kelihatannya Islam yang masuk Lampung berbeda dengan yang berkembang di Jawa. Kalau Islam yang masuk Lampung menenggelamkan budaya lama, diganti dengan budaya Islam karena dinilai bertentangan dengan kepercayaan Islam. Sementara di Jawa, budayanya tetap berkembang sejalan dengan Islam,” ujar Zulkarnain yang biasa dijuluki Udo Karzi di Bandar Lampung, Kamis (5/9).
Kemungkinan naskah-naskah kuno yang sebelumnya disimpan dan dipelajari oleh masyarakat secara turun-temurun dimusnahkan. “Yang saya dengar naskah-naskah tersebut masih ada yang tersimpan di perpustakaan di Belanda dan Jerman. Tapi saya belum lihat apa isi naskah kuno yang ditulis dalam aksara Lampung tersebut. Kemungkinan isinya mantra-mantra dan kelabai,” ungkap Udo.
Terancam Punah
Meskipun saat ini bahasa Lampung dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan SD sampai SLTA di Lampung, masyarakat Lampung terutama generasi mudanya mulai enggan menggunakan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari.
Untuk mengatasi kepunahan bahasa Lampung, Udo berharap perguruan tinggi memelopori penyadaran kepada masyarakat bahwa bahasa daerah merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Untuk itu perlu strategi pemberdayaan bahasa daerah agar masyarakat Lampung bangga menggunakan bahasa ibunya.
Aksara Lampung mulai jarang digunakan setelah Islam masuk. Menurut budayawan yang juga tokoh adat Lampung Zulkarnain Zubairi, sejak Islam masuk ke Lampung setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, aksara Lampung banyak digunakan untuk menuliskan mantra-mantra dan kelabai yang bertentangan dengan Islam yang tidak memercayai mantra-mantra.
Karena itu masyarakat diminta tidak lagi menggunakan aksara yang dinilai syirik itu, lalu berkembanglah peradaban baru dengan aksara Melayu atau Jawi.
“Kelihatannya Islam yang masuk Lampung berbeda dengan yang berkembang di Jawa. Kalau Islam yang masuk Lampung menenggelamkan budaya lama, diganti dengan budaya Islam karena dinilai bertentangan dengan kepercayaan Islam. Sementara di Jawa, budayanya tetap berkembang sejalan dengan Islam,” ujar Zulkarnain yang biasa dijuluki Udo Karzi di Bandar Lampung, Kamis (5/9).
Kemungkinan naskah-naskah kuno yang sebelumnya disimpan dan dipelajari oleh masyarakat secara turun-temurun dimusnahkan. “Yang saya dengar naskah-naskah tersebut masih ada yang tersimpan di perpustakaan di Belanda dan Jerman. Tapi saya belum lihat apa isi naskah kuno yang ditulis dalam aksara Lampung tersebut. Kemungkinan isinya mantra-mantra dan kelabai,” ungkap Udo.
Terancam Punah
Meskipun saat ini bahasa Lampung dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal pada jenjang pendidikan SD sampai SLTA di Lampung, masyarakat Lampung terutama generasi mudanya mulai enggan menggunakan bahasa Lampung dalam pergaulan sehari-hari.
Untuk mengatasi kepunahan bahasa Lampung, Udo berharap perguruan tinggi memelopori penyadaran kepada masyarakat bahwa bahasa daerah merupakan kekayaan budaya yang harus dilestarikan. Untuk itu perlu strategi pemberdayaan bahasa daerah agar masyarakat Lampung bangga menggunakan bahasa ibunya.
Budayawan Lampung lainnya, Isbedi Setyawan juga berpandangan bahwa
dengan memiliki aksara tulis dan lisan seharusnya masyarakat Lampung
bangga menjadi salah satu suku di Nusantara yang memiliki warisan budaya
sempurna. “Hanya sebagian kecil suku bangsa yang memiliki aksara tulis
dan lisan seperti Lampung,” ungkapnya.
Terancam punahnya bahasa dan dilupakannya aksara Lampung, menurut Bang Is—panggilan akrabnya—ini karena salah persepsi dari pemerintah daerah.
Yang diperhatikan dan dilestarikan hanya terbatas pada tari, padahal warisan dan kekayaan budaya Lampung lebih banyak; ada aksara, bahasa, upacara adat, tempat bersejarah, rumah kuno, arsitektur. Sementara yang diperhatikan pemerintah hanya tari dan yang dipelajari di sekolah hanya bahasa. Itu pun bahasa tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Isbedi menyesalkan tradisi tulis menggunakan aksara Lampung yang berkembang sejak nenek moyang orang Lampung terputus kemudian yang digunakan dalam pesta-pesta adat hanya tradisi lisan sehingga generasi penerus miskin informasi mengenai tradisi nenek moyangnya.
Khusus soal bahasa, menurut Isbedi, masih menyisakan persoalan karena terdapat dua dialek, yakni dialek yang dikembangkan masyarakat adat Sai Batin, yakni masyarakat yang bermukim di sepanjang pinggir pantai di Provinsi Lampung dan masyarakat adat Pepadun, masyarakat yang bermukim di darat (pegunungan).
“Keduanya harus kita sepakati dulu bahasa mana yang akan dinobatkan sebagai bahasa Lampung. Hingga kini orang Lampung belum bersepakat soal itu, meskipun tulisannya sama tapi cara membacanya berbeda,” akunya.
Sama dengan orang Minang yang juga memiliki dua dialek, yaitu dialek a yang banyak digunakan di daerah Agam dan Padang (pantai), dan o yang digunakan di kabupaten 50 kota (darat/pegunungan). Namun yang dinyatakan sebagai dialek Minang adalah yang menggunakan dialeg a, sehingga masyarakat pendukung dialek o tidak merasa rendah.
“Itulah kelebihan orang Minang, bersepakat dalam perbedaan. Berbeda dengan di Lampung, masalah dialek saja masih belum ada persamaan persepsi dan tidak ada yang mengalah,” ia menambahkan.
Strategi
Sastrawan Lampung, Oyos Suroso HN juga menilai seharusnya lembaga-lembaga budaya di Lampung meniru program dan kegiatan yang masih berjalan di daerah lain dalam menjaga warisan budayanya. Seperti orang Jawa yang tetap menggunakan bahasa Jawa, begitu pula orang Sunda. Mungkin juga Minang dan Bali.
“Selain karena bahasa Jawa dan Sunda (lisan dan tulisan) masih aktif dipakai oleh masyarakat Jawa dan Sunda di wilayah mereka, juga bahasa Jawa dan Sunda didukung oleh media pelestarian bahasa dan tradisi seperti majalah Panyebar Semangat (Surabaya), Joko Lodhang (Yogyakarta), dan Mangle (Bandung),” ia mencontohkan.
Terancam punahnya bahasa dan dilupakannya aksara Lampung, menurut Bang Is—panggilan akrabnya—ini karena salah persepsi dari pemerintah daerah.
Yang diperhatikan dan dilestarikan hanya terbatas pada tari, padahal warisan dan kekayaan budaya Lampung lebih banyak; ada aksara, bahasa, upacara adat, tempat bersejarah, rumah kuno, arsitektur. Sementara yang diperhatikan pemerintah hanya tari dan yang dipelajari di sekolah hanya bahasa. Itu pun bahasa tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Isbedi menyesalkan tradisi tulis menggunakan aksara Lampung yang berkembang sejak nenek moyang orang Lampung terputus kemudian yang digunakan dalam pesta-pesta adat hanya tradisi lisan sehingga generasi penerus miskin informasi mengenai tradisi nenek moyangnya.
Khusus soal bahasa, menurut Isbedi, masih menyisakan persoalan karena terdapat dua dialek, yakni dialek yang dikembangkan masyarakat adat Sai Batin, yakni masyarakat yang bermukim di sepanjang pinggir pantai di Provinsi Lampung dan masyarakat adat Pepadun, masyarakat yang bermukim di darat (pegunungan).
“Keduanya harus kita sepakati dulu bahasa mana yang akan dinobatkan sebagai bahasa Lampung. Hingga kini orang Lampung belum bersepakat soal itu, meskipun tulisannya sama tapi cara membacanya berbeda,” akunya.
Sama dengan orang Minang yang juga memiliki dua dialek, yaitu dialek a yang banyak digunakan di daerah Agam dan Padang (pantai), dan o yang digunakan di kabupaten 50 kota (darat/pegunungan). Namun yang dinyatakan sebagai dialek Minang adalah yang menggunakan dialeg a, sehingga masyarakat pendukung dialek o tidak merasa rendah.
“Itulah kelebihan orang Minang, bersepakat dalam perbedaan. Berbeda dengan di Lampung, masalah dialek saja masih belum ada persamaan persepsi dan tidak ada yang mengalah,” ia menambahkan.
Strategi
Sastrawan Lampung, Oyos Suroso HN juga menilai seharusnya lembaga-lembaga budaya di Lampung meniru program dan kegiatan yang masih berjalan di daerah lain dalam menjaga warisan budayanya. Seperti orang Jawa yang tetap menggunakan bahasa Jawa, begitu pula orang Sunda. Mungkin juga Minang dan Bali.
“Selain karena bahasa Jawa dan Sunda (lisan dan tulisan) masih aktif dipakai oleh masyarakat Jawa dan Sunda di wilayah mereka, juga bahasa Jawa dan Sunda didukung oleh media pelestarian bahasa dan tradisi seperti majalah Panyebar Semangat (Surabaya), Joko Lodhang (Yogyakarta), dan Mangle (Bandung),” ia mencontohkan.
Menurut Oyos, bahasa akan tetap hidup dan berkembang kalau masih dipakai
oleh masyarakat pendukungnya. Dalam kasus bahasa Lampung, bahasa
Lampung kini terancam karena daya dukung pengembangannya sangat minim.
Bahasa Lampung hanya didukung masyarakatnya dari segi kelisanan.
Padahal, seharusnya ada strategi pengembangan bahasa Lampung lewat
pendidikan di sekolah. Itu pun harus sistematis dan ada intervensi dari
pemerintah daerah.
“Perguruan Tinggi di Lampung harus mendukung pengembangan bahasa Lampung lewat pembukaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dengan jurusan Bahasa dan Sastra Lampung,” Oyos mengusulkan.
Bahasa Lampung semestinya bisa berkembang seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Minang, Batak. Bahkan bisa lebih dari bahasa-bahasa tersebut, sebab di Nusantara hanya sedikit suku yang memiliki aksara sendiri, seperti Lampung. “Sunda yang besar dan berkembang seperti sekarang pun tidak punya aksara Sunda. Jadi, dalam segi keberaksaraan sebenarnya Lampung sejajajar dengan Jawa, Batak, Bali,” jelasnya.
Jika orang Lampung tidak sigap dalam menjaga bahasanya maka nasibnya akan sama dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Itu sudah terjadi di beberapa daerah. Data UNESCO menyebutkan, ada 12 bahasa daerah yang telah punah, yakni Hukumina, Kayeli, Liliali, Mapia, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Piru, Tandia, Te’un, Tobada’. Sebagian besar di Indonesia Timur.
“Perguruan Tinggi di Lampung harus mendukung pengembangan bahasa Lampung lewat pembukaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dengan jurusan Bahasa dan Sastra Lampung,” Oyos mengusulkan.
Bahasa Lampung semestinya bisa berkembang seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Minang, Batak. Bahkan bisa lebih dari bahasa-bahasa tersebut, sebab di Nusantara hanya sedikit suku yang memiliki aksara sendiri, seperti Lampung. “Sunda yang besar dan berkembang seperti sekarang pun tidak punya aksara Sunda. Jadi, dalam segi keberaksaraan sebenarnya Lampung sejajajar dengan Jawa, Batak, Bali,” jelasnya.
Jika orang Lampung tidak sigap dalam menjaga bahasanya maka nasibnya akan sama dengan bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Itu sudah terjadi di beberapa daerah. Data UNESCO menyebutkan, ada 12 bahasa daerah yang telah punah, yakni Hukumina, Kayeli, Liliali, Mapia, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Piru, Tandia, Te’un, Tobada’. Sebagian besar di Indonesia Timur.
0 komentar:
Post a Comment